DINAMIKA PEWARISAN HARTA MINANGKABAU
A.
Pengertian
Harta Warisan
Setiap orang yang bernyawa pasti akan meninggal dunia. Bagi orang yang memiliki harta kekayaan pasti dia akan mewasiatkan pembagian hartanya kepada keluarganya. Biasanya, peralihan
harta tersebut diperuntukkan bagi orang yang memiliki hubungan darah,
kekerabatan dan agama. Jadi harta warisan adalah harta yang didapatkan seseorang secara sah dari orang yang telah meninggal dunia.
B.
Jenis-jenis
Harta Warisan
Dalam
adat Minangkabau kita mengenal istilah harta warisan itu dikenal dengan sebutan harato pusako yaitu peninggalan yang diwarisakan secara turun temurun dan diatur menurut
ketentuan yang berlaku sesuai dengan kaidah hukum adat Minangkabau.
Kita
mengenal ada dua jenis harta yang menjadi harta warisan dalam hukum adat Minangkabau
yaitu:
a)
Harato
pusako tinggi (harta pusaka tinggi)
Harato pusako tinggi
adalah harta yang diperoleh dari tambilang
basi dengan cara manaruko. Yang
dimaksud dengan manaruko adalah
membuat atau mengolah lahan dari suatu wilayah bumi yang belum pernah diolah
sebelumnya dengan menggunakan perkakas yang diistilahkan dengan sebutan tambilang basi.
Contoh
harato pusako tinggi adalah Rumah
Gadang, Sawah Ladang, Tanah Pusako, dan lain sebagainya. Harato pusako inilah yang diwariskan secara turun temurun dari niniak ka datuak, dari datuak ka mamak, dari mamak ka kamanakan.
Namun,
secara kepemilikan hak warisnya adalah milik bundo kanduang sepenuhnya, maksudnya
bahwa yang menjadi pemegang harta secara adat adalah kaum ibu, sedangkan kaum bapak
hanya menjadi pelindung bagi kaum ibu dan harta serta keamanan Ranah Minangkabau. Sedangkan pemakaiannya
diatur menurut hukum adat Minangkabau secara bersama.
b)
Harato
pusako randah (harta pusaka rendah)
Harato pusako randah
adalah harta pusaka yang tidak diperoleh dengan cara tambilang basi artinya tidak didapatkan dengan cara manaruko melainkan dengan cara tambilang
ameh (hadiah atau hibah). Hal ini berarti bahwa harato
pusako randah ini didapatkan dari hibah atau hadiah dari orang lain.
Contoh
harato pusako randah ini adalah harta
pemberian dari seseorang misalnya mobil yang diberikan oleh pamankita kepada kita dan lain-lain. Harta ini juga bisa ditujukan pada harta hasil pencarian kita.
Sedangkan ahli warisnya dahulu masih diatur oleh adat Minangkabau sendiri dengan cara diturunkan kepada pihak perempuan. Hal ini
masih mendarah di Ranah Minangkabau
sebelum adanya syari’at-syari’at dari agama islam yang masuk dikemudian hari.
Ada
dua jenis harta yang kita kenal didalam islam yaitu:
a)
Harta peninggalan
Harta
peninggalan adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara hibah atau hadiah.
Harta ini merupakan harta yang tidak diperoleh dari usaha sendiri melainkan
hasil usaha orang lain yang hasilnya diserahkan kepada kita, biasanya
peninggalan orang tua kita.
Contoh
harta peniggalan adalah rumah peniggalan orang tua, emas peniggalan nenek dan
lain sebagainya.
b)
Harta hasil bersama/harta pencarian
Harta
pencarian adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha sendiri, atau harta
hasil usaha suami istri yang dikumpulkan bersama-sama.
Contoh
harta pencarian adalah uang yang didapatkan suami dan istri selama masih berlangsungnya
pernikahan walaupun yang bekerja itu suami atau istri saja.
C. Cara
Pembagian Harta Warisan
1. Cara
pembagian harta warisan menurt hukum adat Minangkabau
a)
Harato
pusako tinggi (harta pusaka tinggi)
Secara
kolektif harato pusako tinggi ini
merupakan milik kaum. Jadi harta ini bukanlah milik pribadi melainkan milik
bersama dan pemanfaatannya juga bersama. Masyarakat Minangkabau kental dengan
kebudayaannya sehingga jika ada seseorang yang menyalahgunakan harta pusaka ini
maka dia akan dikucilkan dan dijauhi oleh masyarakat.
Disinilah
kebanyakan masyarakat umum salah paham tentang ini. Harta ini adalah milik
suatu kaum bukan milik pribadi yang pembagiannya bisa saja menggunakan hukum islam. Namun sebenarnya harta pusaka tinggi ini di dalam islam adalah harta wakaf yang dipakai bersama. Sehingga berdosalah kita jika menyalahgunakan harta ini apalagi dibagi-bagikan. Jika pengelola harta
ini meninggal maka akan dikembalikan kepada kepala kaum dan digantikan oleh
pengelola selanjutnya.
Diantara harato pusako tinggi itu adalah Istana
Pagaruyuang di Batusangkar, sedangkan harta yang digolongkan tingkat bawah adalah tanah kaum di
beberapa daerah di Minangkabau dan tanah yang dimiliki oleh niniak mamak di beberapa pedesaan.
Ada empat hal yang
mempengaruhi sehingga harta itu bisa beralih pengelola. diantaranya:
1) Gadih gadang indak balaki
(perempuan cukup umur yang belum bersuami)
dimaksudkan tiadanya penerus.
dimaksudkan tiadanya penerus.
2) Mayik tabujua di ateh rumah
(meninggal dunia)
3) Rumah gadang Katirisan
(rumah yang punah dan tidak ada biaya perbaikan)
4) Mambangkik batang tarandam(tidak
adanya biaya untuk mempersiapkan pesta pengangkatan penghulu atau datuak)
b)
Harato
pusako randah (harta pusaka rendah)
Harta
ini dibagikan dan diatur menurut hukum mawaris
dalam kitab faraidh. Walaupun sebenarnya dulu harta ini harus diturunkan kepada garis keturunan ibu. Permasalahan ini akan dijelaskan dibawah.
2. Cara
pembagian harta warisan menurut hukum islam
Pembagian
harta menurut hukum islam telah di atur dalam alqur’an dan dijelaskan lebih
rinci dalam kitab faraidh tentang mawaris. Dalam islam tidak ada
harta yang turun dalam bentuk sepihak, semuanya dapat, baik kaum perumpuan
maupun kaum laki-laki.
Secara
faraidh bahwa yang mendapatkan lebih
banyak itu adalah laki-laki. Perbandingan yang didapatkan laki-laki dan
perempuan adalah 3:2.
D. Dinamika
Kebudayaan Penurunan Harta Pusaka Minangkabau Sebelum dan Sesudah Masuknya
Islam
Banyak perbedaan pendapat mengenai masa masuknya
islam ke Sumatera Barat. Pengamat Islam dan Budaya Minang, H. Jelfatullah, Lc mengatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui berbagai literatur terjadi beberapa perbedaan di kalangan sejarawan. Ada yang mengatakan abad ke-12 ada juga yang mengatakan abad ke-12. Tetapi data yang yang lebih kuat adalah abad ke-7 melalui perdagangan orang Timur Tengah yang berdagang ke Minangkabau.
Dalam hal pembagian harta begitu banyak pertentangan
yang terjadi di tanah air Indonesia, namun bukan berarti tidak ada solusi
terhadap ini semua. Sudah banyak diadakan seminar tentang pembagian harta ini.
Seminar tersebut diadakan untuk meluruskan pandangan orang umum mengenai
perbedaan pembagian harta di Sumatera Barat menurut hukum islam dengan hukum
adat Minangkabau.
Setelah beberapa lama masuknya agama islam, para
pemuka ulama beserta pemuka adat Minangkabau memusyawarahkan tentang harta
pusaka ini, apakah pembagiannya diatur sama dengan harta pusaka tinggi atau
diatur dengan aturan lain. Hal ini perlu dilakukan menimbang mu’amalah yang akan bertolak belakang
dengan syai’at jika tidak dikritisi lebih dalam lagi.
Ada beberapa beberapa kesimpulan
yang bisa diambil dalam seminar “musyawaratan alim ulama, niniak mamak dan
cadiak pandai Minangkabau” yang diadakan pada tanggal 4 s/d 5 mei tahun 1952 di
Bukittinggi yaitu:
1. Harta
pusaka tinggi diberlakukan hukum adat
2. Harta
pencarian diberlakukan hukum faraidh
3. Seruan
kepada hakim-hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan
hasil seminar ini.
Sebagian
besar alim ulama yang ada di Sumatera Barat berpendapat bahwa harta pusaka
tinggi termasuk harta wakaf bukan milik pribadi. Sehingga dengan ini jelaslah
bahwa harta pusaka tinggi tidak dibagikan secara faraidh menurut hukum islam.
Maaf, boleh minta kontak emailnya ? Saya ingin bertanya beberapa hal. Terimakasih.
BalasHapusMohon maaf atas keterlambatan balasnya. Ini email saya kamil12803@gmail.com
HapusTerimakasih kembali
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus